Kabogor.id - Daya jangkau komunikasi manusia saat ini sangat luas dan dengan tingkat kemudahan yang tinggi. Aksesibilitas informasi dengan dukungan perangkat media yang canggih, penerimaan dan pencarian informasi diyakini menjadi mudah didapat. Begitu pun dengan berbagai informasi keagamaan Islam, dengan mudah diraih oleh siapa saja yang ingin mengetahui ajaran Islam secara lebih dalam melalui akses informasi digital.
Gairah beragama yang tinggi dirasakan oleh kaum muslim, baik di kalangan remaja maupun kelompok masyarakat yang sudah tidak lagi muda. Arus informasi berikut akselerasi yang tersebar di jagad maya, baik melalui situs web maupun media sosial menjadi peluang bagi mereka yang memiliki kepentingan meraup peluang strategis membangun “pengaruh keagamaan Islam” kepada mereka yang “haus” ajaran Islam, namun tidak sempat menempuh pendidikan Islam yang concern terhadapa keilmuan Islam dalam waktu yang cukup lama.
Media sosial menjadi salah satu penolong dan dapat mendukung kebutuhan mereka akan hal tersebut. Namun tanpa disadari secara seksama, mereka belum mampu menyaring berbagai materi keagamaan yang tersebar dan dicari tersebut, akan dampak dari narasi yang dibagikan. Bagi mereka, ketika mendapat sebaran yang berhubungan dengan ajaran keagamaan dan dirasa cocok dan sesuai dengan kebutuhan akan pemahaman tidak menjadi persoalan meskipun bila dicermati bahwa narasi yang disampaikan mengandung unsur radikal, intoleran, dan cenderung tidak bisa menerima perbedaan dari pihak yang tidak sependapat dengan mereka.
Berdasarkan hal tersebut, Majelis Pemuda Islam Indonesia (MPII) bekerjasama dengan Lembaga Pentashih Buku dan Konten Keislaman mengadakan diskusi bareng dalam bentuk Focus Group Discussion: “Trend Persebaran Narasi Radikalisme Melalui Sosial Media di Indonesia” dengan menghadirkan beberapa Pembicara dan sekaligus pemerhati media sosial dan pemikiran keislaman. FGD ini menghadirkan Nur Khamim mewakili MPII, Prof. Dr. Endang Soetari, Ad., M.Si. dan Arif Fahruddin, M.Ag sebagai ketua dan sekretaris LPBKI-MUI. Serta sebagai pemantik diskusi, Rakyan Adi Brata, SH., CCTP, IACSP CTP dan Dr. H.Muhammad Ishom El-Saha, M.A. yang turut mendeskripsikan analisisnya terhadap arus narasi radikalisme.
Paparan Rakyan menyebut, pengguna internet berdasarkan provinsi tersebar ke seluruh Indonesia dengan presentase yang berbeda. Persebaran tersebut diidentifikasi berdasarkan laman kunjungan yang paling sering diakses, baik portal berita digital hingga media sosial. Tingginya frekuensi kunjungan internet dimanfaatkan oleh kelompok yang hendak menyebarkan faham radikalisme. Lebih lanjut Rakyan menambahkan bahwa pola penyebaran radikalisme sebenarnya dapat dilakukan dengan dua pola, offline dan online. Media offline, narasi radikalisme disebarkan diskusi-diskusi publik. Sedangkan online, persebaran narasi radikalisme dilakukan dengan penyebaran di sosial media dan situs-situs yang sudah didesain untuk menyebarkan faham tersebut.
Akademisi dari lembaga perguruan tinggi keislaman, Dr. H.M Ishom el-Saha, M.A. menyoroti ada beberapa hal tentang fakta prilaku digital seseorang, pertama, fakta bahwa per 7 menit ternyata orang memeriksa dan membuka layar HP; kedua, fakta bahwa perdetik HP kebanjiran informasi baru. Dulu informasi bersumber dari pejabat, tokoh masyarakat, ulama, kyai, ustadz. Tetapi kini setiap orang dengan cepat mudah mendapatkan informasi. Ketiga, fakta kebiasaan share dan resharing informasi yang didapat tanpa memeriksa kebenaran informasi akibat kecanduan masyarakat terhadap HP.
Padahal lebih dari 800 situs web dan grup sosial media di Indonesia setiap saat melakukan propaganda hitam. Termasuk propaganda abu-abu dan propaganda hitam yang mencatut persoalan agama, 38 sampai 41,2 skor propaganda abu-abu dan hitam berseliweran mengasut umat untuk berbuat dan bersikap radikal.
Tema radikalisme agama dibungkus melalui kajian tauhid, cara ubudiyah, tanda-tanda akhir jaman, dan masalah qodho dan qodar. Sepintas temanya religius, tapi muatannya berisi propaganda hitam dan abu-abu. Sementara dari sekian banyak informasi tentang keyakinan dan kehidupan beragama skornya hanya 11,8 yang terbilang menyejukkan dan mencerdaskan. Hal ini tentu tidak berimbang dan mengkhawatirkan kelangsungan perpikir moderat/wasathiyyah.
Perlu dipahami bahwa, dituntut kearifan dan kejernihan berpikir serta kualitas filter seseorang, terhadap informasi yang disebarkan maupun yang diterima. Terlebih apabila konten-konten yang dimaksud berhubungan erat dengan narasi keagamaan. [Haromaini, LPBKI MUI Pusat]
Posting Komentar untuk "Identifikasi Benih Radikalisme Berbasis Narasi di Medsos, MPII Diskusi Bareng LPBKI MUI Secara Daring"