Islam sangat menghargai nyawa manusia. Karena itu Islam sangat memperhatikan penjagaan nyawa manusia. Allah SWT berfirman:
"Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang masuk kehidupan manusia, seolah-olah dia telah meningkatkan kehidupan manusia semuanya (QS al-Maidah [5]: 32).
Nabi Muhammad SAW bersabda :
«لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ»
Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi Allah dari seorang Muslim yang terbunuh (HR an-Nasa'i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Para ulama menempatkan penjagaan nyawa (hifzhu an-nafsi) sebagai salah satu tujuan syariah. Syariah mewujudkan hifzhu an-nafsi melalui berbagai hukum, semisal hukum qishash atau diyat dalam pembunuhan, diyat dalam serangan terhadap organ, dsb. Juga larangan atas segala hal yang menyebabkan dharar (bahaya) dan mengancam keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat.
Islam juga menempatkan penjagaan atas harta (hifzhu al-mâl) pada posisi yang tinggi. Penjagaan terhadap harta kepemilikan bahkan disandingkan dengan penjagaan terhadap nyawa. Jika seseorang, demi mempertahankan hartanya, sampai menemui kematian, dia syahid akhirat.
Dalam keadaan normal, kedua maksud syariah itu, yakni penjagaan atas nyawa dan harta, bisa dilaksanakan secara berbarengan dan beriringan. Namun, dalam keadaan tertentu, yang satu harus diutamakan atas yang lain. Allah SWT berfirman:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Siapa saja yang udah (memakan yang haram), sementara dia tidak ingin (memakan yang haram itu) dan tidak pula melebihi batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya (QS al-Baqarah [2]: 173).
Imam ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya, Jâmi 'al-Bayân, menjelaskan, “Siapa saja yang tertimpa kelaparan hingga terapkan apa yang diharamkan itu ... maka tidak ada dosa bagi dirinya.”
Imam al-Qurthubi menyebutkan, jika orang yang tertimpa darurat itu menemukan bangkai dan makanan milik orang lain yang di dalamnya tidak ada penyakit, maka dia tidak halal makan bangkai, tetapi boleh mengambil makanan milik orang lain itu. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm).
Semua itu mengisyaratkan bahwa jika penjagaan atas harta dan penjagaan tidak bisa dilaksanakan sekaligus, maka penjagaan atas nyawa lebih dikedepankan dari penjagaan atas harta.
Patokan itu dalam usaha urusan urusan masyarakat. Bahkan dalam urusan masyarakat mesti lebih memperhatikan lagi. Sebabnya, jika terancam adalah kelangsungan hidup dan keselamatan masyarakat, tentu dampaknya akan jauh lebih besar.
Pandemi Covid-19 jelas merupakan ancaman serius terhadap nyawa dan keselamatan masyarakat. Apalagi jika masyarakat dibiarkan terus terlibat dalam banyak keramaian. Penularan virus Covid-19 akan semakin tak terkendali.
Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) tentu saja bakal mengundang masyarakat dalam banyak keramaian. Dari mulai pendaftaran paslon (pasangan calon), masa kampanye, pemungutan dan perhitungan suara, pengumuman pemenang hingga pelantikan paslon. Penerapan protokol yang ketat dalam Pilkada tidak menjamin akan mengurangi ancaman penyebaran virus Covid-19.Apalagi protokol tersebut sudah terbukti banyak dilanggar pada saat pendaftaran paslon (pasangan calon).
Karena itu Pilkada di tengah-tengah pandemi akan semakin mengancam kesehatan, keselamatan dan kelangsungan hidup masyarakat.
Anehnya, Komisi II DPR bersama Mendagri Tito Karnavian, KPU, Bawaslu dan DKPP sepakat bahwa tidak ada penundaan Pilkada serentak 2020. Pilkada tetap akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020 mendatang (DetikNews, 21/9).
Dengan dalih demi menjaga hak konstitusi rakyat, Pilkada serentak akan tetap dilakukan di 270 daerah. Selain itu, Mendagri mengklaim penyelenggaraan Pilkada 2020 sesuai kondisi perekonomian Indonesia di tengah pandemi Covid-19. Anggaran untuk Pilkada 2020 mencapai Rp 20,46 triliun. Sebesar Rp 15,23 triliun dari APBD. Sisanya sekitar Rp 4,77 triliun dari APBN. Anggaran itu diklaim akan menjadi sarana meningkatkan program padat karya yang dapat menjadi pertumbuhan stimulus ekonomi Indonesia.
Pakar Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan berpendapat (Kompas.com, 24/9/2020), ada beberapa alasan mengapa Pilkada 2020 tetap berdiri meski masa pandemi Covid-19. Pertama: Kepentingan kepala daerah yang sedang mencalonkan diri kembali di Pilkada tahun ini. Diketahui, dari 270 daerah yang menggelar Pilkada, lebih dari 200 daerah diikuti oleh petahana. Keempat: Tidak menutup kemungkinan adanya peran pengusaha dalam keputusan penyelenggaraan Pilkada. Boleh jadi para petahana tersebut merasa yakin lebih mudah memenangkan Pilkada pada masa seperti sekarang ini. Kedua: Kepentingan partai politik. Praktik mahar politik sudah menjadi rahasia umum dalam pelaksanaan pesta demokrasi. Pasalnya, jika Pilkada ditunda, maka jagoan kebijakan kebijakan untuk menang akan semakin kecil.Ketiga: Ada dugaan kuat bahwa pengambil kebijakan tentang Pilkada mempunyai jagoan sehingga Pilkada pada akhirnya diputuskan tetap berlanjut meskipun wabah Covid-19 semakin merajalela.
Sebelumnya desakan agar Pilkada serentak 2020 ditunda datang dari berbagai pihak. Dua ormas Islam terbesar, yakni Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, telah kedekatan agar pelaksanaan Pilkada serentak 2020 ditunda. Komnas HAM juga menyajikan agar tahapan Pilkada 2020 ditunda. Namun nyatanya, semua desakan tersebut tak digubris sama sekali oleh Pemerintah.
Alhasil, penyelenggaraan Pilkada di tengah pandemi bisa dipastikan hanya demi kepentingan elit, bukan demi kepentingan rakyat.
Data kasus Covid-19 menunjukkan, pandemi sama sekali belum bisa dikendalikan. Tren kasus masih meningkat. Berdasarkan data Satgas Covid-19, jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 sejak 10 September rata-rata di atas 3.500 kasus baru perhari. Puncaknya pada 25/9 sebanyak 4.823 kasus baru. Lalu turun hingga pada 28/9 ada 3.509 kasus baru. Namun kemudian, pada 29/9 kembali naik menjadi 4.002 kasus baru.
Menurut epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman (Liputan6.com, 12/9/2020), Pilkada 2020 memungkinkan menjadi klaster baru Covid-19. Pengendalian nasional, pengendalian belum terkendali. Ini terbukti dari nilai positif yang selalu di atas 10 persen.Artinya, laju penyebaran sangat tinggi, dan masih banyak orang pembawa virus Covid-19 belum diketahui karena umumnya tidak bergejala. Para epidemiolog lainnya juga menyarankan Pilkada ditunda.
Apalagi secara aturan belum semua siap. Protokol pencegahan Covid banyak dilanggar. Selama masa pendaftaran calon 4-6 September saja terjadi ratusan Berkaitan dengan kerumunan massa. Kepatuhan terhadap protokol, termasuk wajib pakai masker dan physical distancing, masih kedodoran. Bahkan per 10 September dilaporkan ada 60 calon kepala daerah yang positif Covid-19. Penyelenggara Pemilu di pusat dan daerah juga positif Covid-19.
Dengan kondisi seperti itu, pelaksanaan Pilkada serentak pada 9 Desember nanti bukan tidak mungkin akan menjadi klaster baru dan benar-benar menjadi bom penyebaran Covid-19.
Jelas, Pilkada serentak yang tetap dilaksanakan mengisyaratkan bahwa kepentingan keselamatan dan kesehatan masyarakat tidak menjadi prioritas Pemerintah. Yang lebih dikedepankan adalah kepentingan politik, kelompok, kekuasaan dan ekonomi.
Posting Komentar untuk "Keselamatan Nyawa Harus Diutamakan Daripada Melaksanakan Pilkada"